Initiated by Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia
Abstrak:
Perang Ukraina-Rusia, yang disebut sebagai ”Operasi Militer Khusus” dimulai pada tanggal 24 Februari 2022, dan telah berlangsung sampai hari ini. Operasi ini pada awalnya menyelimuti aspek “Perang Energi” antara Rusia dan Ukraina yang menjadi semakin nyata dengan diledakkannya pipa
gas Nord Stream 1 dan Nord Stream 2 menyusul pengurangan pasokan gas ke Eropa oleh Rusia, dilanjutkan dengan ancaman bencana Nuklir dari PLTN Zaporizhia, dan serangan Rusia yang menghancurkan jaringan dan 40 persen kapasitas penyediaan listrik Ukraina. Tidak banyak yang tahu bahwa hari Operasi Militer Khusus dimulai (24 Februari 2022) adalah hari dimana sistem kelistrikan Ukraina melepaskan diri dari jaringan interkoneksi Federasi Rusia (IPS / UPS ) dan setelah masa iddah selama satu dua bulan, Sistem Kelistrikan Ukraina akan disinkronkan dengan sistem kelistrikan Eropa.
Sistem Kelistrikan Eropa sendiri merupakan suatu jaringan listrik terinterkoneksi antar Negara dibangun sejak 1912 oleh 4 negara Skandinavia, dan selanjutnya mendapat akselerasi dengan ditandatanganinya Traktat Lisabon 2007 dan telah menunjukkan kinerja yang baik dalam efisiensi, keandalan, dan menjadi platform transformasi energi menuju energi terbarukan. Jaringan kelistrikan Eropa bersatu ditopang juga oleh jaringan kabel laut internasional yang menghubungkan Negara Nordic (Swedia, Finlandia, Norwegia, Denmark) dengan daratan Eropa seperti Perancis, Belgia, Jerman dan Belanda serta negara-negara Baltik, begitu juga dengan Inggris dan Irlandia. Interkoneksi listrik di Eropa berjalan serentak dengan interkoneksi jaringan gas, sehingga tidak heran bila jaringan gas Nord Stream diserang, dampaknya menyebar ke jaringan interkoneksi listrik. Kejadian-kejadian itu menunjukkan bahwa di Eropa saat ini, trilemma energi didominasi oleh issue energy security yang dianggap lebih penting dari sustainability dan accessibility termasuk interkoneksi Ukraina dengan Eropa.
Lantas apa pengaruh dari kejadian di Eropa ini dengan ASEAN pada umumnya dan Indonesia pada khususnya?
Berbeda dengan Eropa, ASEAN tumbuh lebih lambat dalam kesatuan pendekatan energinya. Ide pertama mengenai ASEAN Power Grid lahir di tahun 1980 dalam pertemuan ASEAN dan dilanjutkan dengan kelahiran HAPUA (Heads of ASEAN Public Utility Association) di tahun 1981. Diawali dengan upaya memanen energi sungai Mekong yang mengalir melalui beberapa negara ASIA, yaitu propinsi Yunan (China), Myanmar, Laos , Thailand , Cambodia dan bermuara di Vietnam, kerjasama ini telah berhasil menyatukan paling tidak Laos, Thailand, Malaysia, Singapura, dalam transaksi multilateral, dan berbagai transaksi bilateral perdagangan energi listrik. Pencapaian ini belum dapat dikatakan memenuhi harapan karena salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah diversifikasi dari energi fosil gas yang dominan di Thailand dan Malaysia ke energi batubara (HAPUA, 2002). Saat ini sepertinya sudah terlambat untuk mengembangkan pasokan bilateral/multilateral energi listrik batubara. karena harus beralih ke tantangan transisi energi ke energi terbarukan ( diluar energi air yang memanfaatkan sungai Mekong dan rentan terhadap perubahan musim )
Visi ASEAN Power Grid , tidak akan tercapai tanpa jaringan kabel bawah laut yang menghubungkan negara-negara kepulauan di ASEAN (Indonesia dengan 17.500 pulaunya dan Filipina dengan 7641 pulaunya), ditambah dengan Vietnam dan Malaysia yang memiliki pulau-pulau meski tidak sebanyak Indonesia. Sebagian besar pulau-pulau di ASEAN berada pada daerah konflik ASIA PASIFIK, dan karenanya secara geopolitik yang merupakan daerah-daerah dimana masing-masing negara berkepentingan menunjukkan pengaruhnya. Pulau-pulau tersebut sebagian besar masih memperoleh energinya dalam bentuk energi fosil, BBM dan gas, dan baru sebagian kecil yang
memiliki sumber energi terbarukan (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Flores – IDN, Luzon, Negros, Mindanao dan Leyte – PHIL). Kebutuhan energi yang sangat besar di masa depan dan transisi energi yang harus segera dilakukan akan menyebabkan pulau-pulau di Indonesia harus mengembangkan energi terbarukan atau membangun infrastruktur impor dari daerah lain yang memiliki EBT agar tak tertinggal dalam pengembangan perekonomiannya.
Sementara, negara-negara yang ingin mengembangkan pengaruhnya melalui penguasaan energi terbarukan telah mengumumkan rencana pembangunan supergrid global. Indonesia, yang masih berkutat dengan transisi energi, dalam format penggantian energi fosil dengan energi terbarukan secara terdistribusi (cofiring, dediselisasi), hingga saat ini belum memiliki rencana jelas mengenai pembangunan grid nasional dan integrasi dengan APG. Kita dikejutkan dengan rencana, China membangun Global Energy Interconnection (GEI) India membangun One Sun One World One Grid (OSOWOG) dan Sun Cable-Australia membangun interkoneksi antara Singapura-Australia . Gagasan Supergrid Nusantara yang diawali oleh alm. Prof. Pekik Argo Dahono dan diberi konteks yang kekinian oleh Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia menjadi Nusantara Renewable Grid, meski telah diterima oleh pemerintah, tapi nampak belum mendapat dukungan memadai dari PT PLN (Persero).
Artikel ini bertujuan untuk memberi konteks bagi gagasan Nusantara Renewable Grid dan ASEAN Power Grid, yang semakin relevan dengan tujuan ASEAN menjadi kawasan netral secara politik dan kawasan pertumbuhan dunia.
Penasaran dengan article selanjutnnya
download fullnya ada disini :